Kulap keningku.
Arrrghhh… siyal! Motor siyal ini ga mo nyala jugak…!! E ya tapi bukan motor siyal deng… Namanya juga motor tuwak ah…
“Ga mau nyala juga, Not?” Suara Ibu tiba-tiba terdengar.
Aku hanya diam dan menggeleng. Secepat kilat aku memakai sepatu ketsku dan lalu menyambar tas yang sudah dari tadi menungguiku di kursi teras untuk diajak pergi.
“Mo ditinggal aja nih, motornya?”
“Iya, Bu. Aku ada ujian. Aku pake bis aja deh… Keburu telat…”
Kukecup pipi Ibu dan lalu bergerak meninggalkan teras rumah. Sambil lalu kutepuk jok motor Honda Pitungku.
I’ll be back with you a bit later, dude…
Sudah sekian lama aku ga pernah naik bis lagi. Dan begitu aku menginjakkan kaki ke dalam bis kota ini, aku pun segera ingat bagaimana aku membenci asap knalpot yang semena-mena malah masuk ke dalam bis itu sendiri. Membenci bau parfum murahan ibu-ibu yang berdiri di depanku. Membenci asap rokok pemuda yang duduk di kursi sebelah yang ga ada ngerti-ngertinya sama peraturan “Dilarang Merokok di dalam Bis” yang sudah jelas-jelas terpampang di jendela.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Argh! Aku lupa kenapa kemaren aku ga mau lagi naik bis kota. Biar butut, mendingan aku naek motor dah. Biarpun kalo hujan aku musti berteduh, supaya mesinnya ga kebasahan kena air hujan
Sungguh, aku membenci bis kota.
Tapiiiii… rasanya ada sepasang mata yang mengamatiku. Kulirik bangku di sebelah kanan.
Sepasang mata yang berbinar lucu menatapku. Mulutnya kemudian tersenyum, karena dia tau aku memperhatikannya. Ada lesung pipit kecil di pipi kirinya. Di sebelahnya duduk seorang ibu yang memangku bocah yang lebih kecil lagi. Mungkin berusia 2 tahun. Sedang berusaha menenangkannya dengan berdendang lagu sederhana. Si Lesung Pipit itu masih tetap tersenyum.
Aku, tanpa harus merasa terpaksa, membalas senyumannya.
“Mak, mak.. geser mak… kasian Mbak itu… berdiri terus dari tadi. Biar duduk sama Anggrek…”
Si Ibu tersenyum, lalu menatapku, dan kemudian menggeser duduknya sedikit.
Si Lesung Pipit lalu menepuk-nepuk daerah sempit di kursinya yang kosong untuk kududuki.
Ahhh … kamu baik sekali, sayang…
Aku pun duduk di sebelahnya.
“Makasih ya…”
“Iya, Mbak. Mbak namanya siapa?”
“Nina… Tapi temen-temen Mbak manggilnya Ninot.”
Dia tergelak sedikit.
“Hee… kok ketawa? Lucu ya…?”
“Hihi iya…”, sahutnya malu-malu.
“Kamu namanya siapa?”
“Anggrek, Mbak…”
“Uuuu… keren. Sekeren orangnya.”
Anggrek tersenyum tersipu lagi.
“Mbak mau kemana?”
“Mau kuliah. Kamu?”
“Mau jalan-jalan aja, Mbak. Mo liat toko… mobil-mobil… andong juga… kalo naik bis itu jadinya lebih tinggi, Mbak, dari mobil… Mobilnya jadi pendek-pendek… hehehehehe…”
“Kamu suka naik bis?”
“Suka banget, Mbak!! Kalo bisa sih tiap hari deh naik bis…”
“Tiap hari… ya jangan tiap hari, sayang… Tunggu Ibu dapat rejeki dulu dong…” Si Ibu menyahut.
Anggrek terkekeh. Aku pun ikut tersenyum lebar.
Ahhh… untuk naik bis saja, harus menunggu si Ibu dapat rejeki. Sedangkan aku? Motor ada, walopun butut. Tapi butut-butut gitu tetep aja namanya motor kesayangan. Naik bis skali aja ngeluhnya sampe mana-mana…
Ahhhh… aku jadi malu. Aku yang tadi marah-marah ketika baru saja menginjakkan kaki di bis butut ini, merasa tertampar oleh kesederhanaannya.
“Itu adikmu, ya?”
“Iya, Mbak…”
Belum sempat aku mengajaknya bercerita lebih jauh, tiba-tiba sebuah suara bariton memanggilku.
“Lho? Mana Pitungmu, Not? Jangan bilang kalo kamu naikkan juga ke bis…”
Aku mendongak. Ah… Si El…
Sungguh aku malu, ketika kudapati diriku sendiri sedang menatapnya dari ujung kaki hingga ujung rambut lalu kembali lagi ke ujung kaki.
“Kenapa, Not? Heran, temen kuliahmu jadi kernet??”
“Eh…oh… mmmm… engga sih… eh… iya deng…”
Aku jadi tertawa segan. Ahhhhh siyal… malu bener ketangkep basah gini…
El… teman kuliahku. Di kampus tergolong mahasiswa yang biasa-biasa saja… ga terlalu menonjol. Tapi dia lawan terberat main kartu. Hahahaha… yaaa itulah yang biasa kami lakukan ketika lagi ga ada kuliah. Ngumpul di Ruang KM dan main kartu… Ga pake taruhan. Ya, cuma main aja. Kalah menang disambut dengan tawa.
“Yaaa begini, Not. Kalo lagi ga ke kampus. Ngernet. Hasilnya lumayan. Bisa buat makan. Karena uang dari orang tua cuma bisa buat bayar kuliah aja. Buat makan, aku musti cari sendiri.”
Aku manggut-manggut.
“Kamu ada ujian?”
“Iya. Emang kamu ga ngambil Manajemen Konstruksi?”
“Ah… belom. Mungkin semes….”
Tiba-tiba El berhenti menyelesaikan kalimatnya. Ada sedikit kilat aneh di matanya, dan kulihat ada senyum geli di bibirnya.
“Kenapa?”
Belom sempat El menjawab, Anggrek menyentuh tanganku.
“Mbak, permisi ya… Anggrek sama Ibu turun di sini…”
“Ohhhh… udah sampe ya? Iya deh… Hati-hati ya sayang… Sampai jumpa lagi!”
Anggrek melewatiku, disusul ibunya yang menggendong sang Adik. Mereka pun turun dari bis, setelah El memberikan isyarat pada supir supaya menepi. Kulihat dari jendela, Anggrek melambaikan tangannya padaku sambil tertawa ceria.
Ahhh… malaikat kecil itu…
Kubalas lambaiannya.
Ketika selesai melambai, kulihat El masih berdiri di tempatnya semula. Matanya masih menatapku sambil tersenyum.
Aku merasa ada yang ganjil, tapi ga tau apa penyebabnya.
“What…???”
“Nahhhh…”
Dia menyeringai.
Aku cuma bisa mengerutkan dahi.
“Kamu turun di depan kan?”
Kulongok ke depan, ternyata benar. Aku sudah harus segera turun. Sudah dekat dengan halte dimana aku harus turun dari bis dan kemudian disambung dengan jalan kaki masuk kampus sekitar 2 menit. Aku pun berdiri dan berjalan sempoyongan menuju ke pintu depan bis mengikuti El yang sudah berjalan di depanku.
Ketika aku sudah hampir turun, El mengangsurkan uang sebanyak uang yang tadi kuberikan pada kondektur pintu belakang. Jumlahnya persis sama.
Aku menatapnya dengan bingung.
“Buat ongkos pulang yah…” sahutnya sambil tersenyum. Lalu segera memberi isyarat pada supir untuk menepi.
Aku turun dari bis masih dengan perasaan bingung tudemaks. El berlalu sambil melambaikan tangan dan meninggalkan senyum lebarnya. Aku membalas tapi dengan dahi berkerut.
Ah… entahlah. Berarti aku naik bis gratis siang ini… hehehe… mayaaaaaaaaaaann… tapi hehhhh… jadi malu sama diri sendiri yah… aku menggerutu sedemikian rupa karena motor ngadat…musti naik bis… lalu marah-marah karena bau knalpot, parfum murahan atau bau rokok… tapi orang-orang seperti Anggrek dan ibunya… dan juga El… malah menikmati setiap detik mereka berada di atas bis kota itu… Aku marah-marah karena aku merasa tak nyaman berada di dalam bis… tapi mereka… mungkin kalo ga ada bis kota, mereka yang akan merasa tak nyaman… Iya kan?
Ah ya sudahlah… Aku mengangkat bahu.
Aku mengakhiri lamunan dengan bergegas menuju kampus. Sambil berjalan setengah berlari, tanganku merogoh tas untuk mencari dompet. Kartu ujian kusimpan di dalamnya, dan untuk bisa masuk ke ruang ujian, kartu itu musti kutunjukkan pada pengawas.
… errrr dan dimana barang itu? Barang kecil berbentuk segiempat berwarna merah marun…
Penasaran aku berhenti lalu lebih dalam mencari ke dalam tasku…
Sepertinya mukaku makin pucat.
Arrrghh!!! Aku yakin banget aku membawanya! Karena tadi aku membayar si kondektur temennya El tadi dengan uang yang kuambil dari dompet!
Aku tersadar………….
Ya Tuhan…….. Siapaaaa??? Kenapa….????
Tiba-tiba aku seperti tersengat listrik.
Anggrek….?? Anggreeeeeeeeeeekkk…????????
Masa sih??
Kuingat lambaian tangannya… kuingat tawa cerianya…. Dia berterima kasih!!
Tapi tadi El seperti melihat sesuatu … dan dia tersenyum geli!
El melihat, entah Anggrek entah Ibunya, menjarah tasku…!!
Pantas saja dia mengembalikan uangku… untuk ongkos pulang, katanya…
ARRRGGGHHH…!!!!
Dan aku lalu ingat, apa yang paling kubenci dari bis kota……..
wihhh ada fiksii
keerennn
ini pasti berdasarkan kisah nyata *nuduh*
argh tau aja sih kalo based on true story 😆 etapi ga gini juga ah kejadiannya. hahahaha…
wah, si ninot rada2 tomboy juga ternyata 😀
hahaha kok bisa menyimpulkan begitu? 😀
Waaah, ternyata dijarah. Itu kenapa si El cuma liatin yaaa hehe. Endingnya gak ketebak 🙂
Sudah saya catat yaaa 😀
heheee makasih
welcome to my blog El…
Ada award nih sekaligus pengumuman Elfrize. Cek, ya, kawan-kawan 🙂
http://elfarizi.wordpress.com/2012/10/30/akhirnya-ini-dia-pemenangnya/